Jumat, 01 Juli 2011

Apkasindo Ancam Gelar Parlemen Jalanan - Sumut Terus Perjuangkan Dana Bagi Hasil Perkebunan

Sumatera Utara terus memperjuangan Dana Bagi Hasil (DBH) Perkebunan, khususnya kelapa sawit. Apalagi lebih dari 20 tahun belum ada realisasinya dari pemerintah pusat.

Hal tersebut terungkap da­lam seminar “Perimbangan Ke­uangan Dana Bagi Hasil” yang diselenggarakan Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Sumut,  Sabtu (25/6). Hadir sebagai narasumber, Ke­tua GAPKI Sumut, Ir Balaman Tarigan MM, Jhon Tafbu Ri­tonga, Dekan Fakultas Eko­no­mi USU, Harry Azhar Azis MA, Anggota DPR RI serta Wakil Ke­tua DPRD Sumut, Chaidir Ri­tonga.

Dorongan tersebut karena Su­mut adalah salah satu da­erah­ yang memiliki kontribusi  ter­besar penghasil CPO di In­donesia. Hal ini yang menjadi dasar agar Sumut bisa mempe­roleh DBH Perkebunan. Karena selama ini, banyak devisa yang disumbangkan oleh Sumut atas peran selama ini yang mengekspor CPO secara rutin dalam jumlah yang banyak.    

Kemudian berdasarkan ha­sil ekspor tersebut, peme­rin­tah pusat menarik Bea Ke­luar (BK) ekspor CPO yang jum­lahnya di­perkirakan sudah men­capai Rp 60 Triliun sejak BK yang dulunya bernama Pu­ngu­tan Ekspor (PE) tersebut di­b­er­la­ku­kan.

Menurut Harry, upaya un­tuk mendapatkan DBH tersebut perlu perjuangan semua pi­hak, termasuk DPR asal Su­mut. ”Angggota DPR asal Su­mut juga harus berjuang. Saya ti­dak wakil Sumut. Dari 30 ang­gota DPR RI, 25 saja be­ri­kan dukungan, berarti sudah bi­sa gunakan hak inisiatif,” kata Harry dari daerah pemilihan Kepulauan Riau (Kepri) ini.

Berbeda dengan Jhon Taf­bu. Menurutnya, upaya untuk me­re­­a­lisasikan DBH tersebut se­benarnya tergantung dengan po­­­litical willnya pemerintah pusat. Tidak harus membuat re­­gulasi yang baru. Namun cu­kup dengan menambahkan pa­sal dalam PP No 55 tahun 2005 tersebut, untuk mengakodir­nya.

Sementara Plt Gubernur Su­mut, Gatot Pujo Nugroho yang pada saat menjadi key­no­te speaker pada kesempatan te­r­sebut mendukung sepenuhnya perjuangan dana bagi hasil (BHD) perkebunan.

“Perjuangan ini memang te­rus kami sampaikan pada fo­rum-forum resmi maupun se­ca­ra informal kepada pejabat terkait di pusat. Karena itu, sa­tu kata yang harus saya sam­pai­­kan saat ini adalah main­kan,” katanya.
Dari pertemuan tersebut Ga­­tot juga berharap, seminar yang diselenggarakan tidak ha­­nya sampai sebatas seminar-seminar saja, namun me­mi­liki tindak lanjut. Dengan mem­bentuk tim untuk terus mem­pertahankan komitmen dan menguatkan perjuangan ber­sama ini. “Sebab, jika DBH tersebut masuk ke Sumut, ma­ka akan semakin baik dalam pen­ciptaan infrastruktur yang me­madai,”katanya.
  
Parlemen Jalanan
Akibat kebijakan pemerintah dinilai belum berpihak, Aso­siasi Petani Kelapa Sawit In­donesia (APKASINDO)  me­ngan­cam akan segera turun ke ja­lan. Mereka akan menggelar ak­si parlemen jalanan, guna mem­protes sikap pemerintah pu­sat yang tidak pernah merealisasikan dana bagi hasil (DBH) daerah.

Karena meski telah dikutip pa­jak bea keluar (BK), petani sa­­­wit ini mengaku belum me­ra­sa­kan perhatian pemerintah. “Ka­mi minta BK dihapus saja, jika tidak mau membagi hasil ke daerah,”kata Sekretaris Umum Dewan Pimpinan Wi­la­yah APKASINDO Sumut, Ir Gus Dalhari Harahap, kemarin (25/6).

Terlebih, sebelumnya pi­hak­nya telah berulangkali me­la­kukan negosiasi dengan DPR RI. Namun sayangnya, dari se­jum­lah pertemuan tersebut, hasilnya deadlock. ”Jadi tidak ada pilihan lain, kami akan la­ku­kan parlemen jalanan,” ka­tanya.

Direncanakan dalam aksi ter­sebut akan melibatkan aso­siasi petani kelapa sawit di se­lu­ruh Indonesia, seperti dari Pa­pua, Sulawesi, Kalimantan. Par­lemen jalanan ini, akan di­langsungkan di Jakarta dalam wak­tu dekat ini. Karena selama ini, pemerintah tidak  berpihak pa­da petani sawit.

Bahkan dengan kebijakan pe­merintah menaikkan pajak bea keluar (BK) dari 17,5 per­sen menjadi 20 persen untuk  CPO dinilai merugikan rakyat. Apalagi seperti kondisi saat ini, har­ga kelapa sawit justru se­dang turun. Hal tersebut oto­matis berdampak pada peng­ha­silan petani sawit.

“Hal seperti ini sangat irrasional. Pakai dasar apapun kita ini, sangat irrasional. Harga sa­witnya turun, pajak justru me­ningkat. Kami petani sangat ke­cewa dengan kebijakan ini,”ka­ta­nya seraya menam-bah­kan harga kepala sawit tan­dan buah segar (TBS) per ki­logramnya Rp 7.800 an.

Dijelaskannya, saat ini de­ngan kenaikan BK tersebut oto­matis akan berdampak pa­da peng­hasilan petani sawit se­besar Rp 400 per kilogramnya tandan buah segar (TBS). Se­mentara pe­tani tidak men­da­patkan apa-apa dari hasil sa­wit yang me­nik­mati malah pemerintah.

Padahal pada tahun 2010, pe­merintah melalui  APBN mem­berikan subsidi sebesar Rp 160 triliun. Namun sayang­nya, hal tersebut tidak sedikit pun kontribusi dirasakan pe­ta­ni sawit.

“Cobalah turun ke lapangan, lihat tempat tinggal kami. K­a­mi kehujanan, jalan buat ke ke­bun saja pun susah. Kalau ka­mi sakit, mau ke kota, sa,pai Asa­han asja sudah meninggal,” ka­tanya.

Hasil yang kami kontri­bu­si­kan ke pusat sama sekali, ti­dak ada buat kami. “jadi tidak ada cara lain, kami sudah lelah. Ka­mi akan menggelar parle­men jalanan untuk membuka mat­a pemerintah, ”katanya.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More