Sumatera Utara terus memperjuangan Dana Bagi Hasil (DBH) Perkebunan, khususnya kelapa sawit. Apalagi lebih dari 20 tahun belum ada realisasinya dari pemerintah pusat.
Hal tersebut terungkap dalam seminar “Perimbangan Keuangan Dana Bagi Hasil” yang diselenggarakan Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Sumut, Sabtu (25/6). Hadir sebagai narasumber, Ketua GAPKI Sumut, Ir Balaman Tarigan MM, Jhon Tafbu Ritonga, Dekan Fakultas Ekonomi USU, Harry Azhar Azis MA, Anggota DPR RI serta Wakil Ketua DPRD Sumut, Chaidir Ritonga.
Dorongan tersebut karena Sumut adalah salah satu daerah yang memiliki kontribusi terbesar penghasil CPO di Indonesia. Hal ini yang menjadi dasar agar Sumut bisa memperoleh DBH Perkebunan. Karena selama ini, banyak devisa yang disumbangkan oleh Sumut atas peran selama ini yang mengekspor CPO secara rutin dalam jumlah yang banyak.
Kemudian berdasarkan hasil ekspor tersebut, pemerintah pusat menarik Bea Keluar (BK) ekspor CPO yang jumlahnya diperkirakan sudah mencapai Rp 60 Triliun sejak BK yang dulunya bernama Pungutan Ekspor (PE) tersebut diberlakukan.
Menurut Harry, upaya untuk mendapatkan DBH tersebut perlu perjuangan semua pihak, termasuk DPR asal Sumut. ”Angggota DPR asal Sumut juga harus berjuang. Saya tidak wakil Sumut. Dari 30 anggota DPR RI, 25 saja berikan dukungan, berarti sudah bisa gunakan hak inisiatif,” kata Harry dari daerah pemilihan Kepulauan Riau (Kepri) ini.
Berbeda dengan Jhon Tafbu. Menurutnya, upaya untuk merealisasikan DBH tersebut sebenarnya tergantung dengan political willnya pemerintah pusat. Tidak harus membuat regulasi yang baru. Namun cukup dengan menambahkan pasal dalam PP No 55 tahun 2005 tersebut, untuk mengakodirnya.
Sementara Plt Gubernur Sumut, Gatot Pujo Nugroho yang pada saat menjadi keynote speaker pada kesempatan tersebut mendukung sepenuhnya perjuangan dana bagi hasil (BHD) perkebunan.
“Perjuangan ini memang terus kami sampaikan pada forum-forum resmi maupun secara informal kepada pejabat terkait di pusat. Karena itu, satu kata yang harus saya sampaikan saat ini adalah mainkan,” katanya.
Dari pertemuan tersebut Gatot juga berharap, seminar yang diselenggarakan tidak hanya sampai sebatas seminar-seminar saja, namun memiliki tindak lanjut. Dengan membentuk tim untuk terus mempertahankan komitmen dan menguatkan perjuangan bersama ini. “Sebab, jika DBH tersebut masuk ke Sumut, maka akan semakin baik dalam penciptaan infrastruktur yang memadai,”katanya.
Parlemen Jalanan
Akibat kebijakan pemerintah dinilai belum berpihak, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) mengancam akan segera turun ke jalan. Mereka akan menggelar aksi parlemen jalanan, guna memprotes sikap pemerintah pusat yang tidak pernah merealisasikan dana bagi hasil (DBH) daerah.
Karena meski telah dikutip pajak bea keluar (BK), petani sawit ini mengaku belum merasakan perhatian pemerintah. “Kami minta BK dihapus saja, jika tidak mau membagi hasil ke daerah,”kata Sekretaris Umum Dewan Pimpinan Wilayah APKASINDO Sumut, Ir Gus Dalhari Harahap, kemarin (25/6).
Terlebih, sebelumnya pihaknya telah berulangkali melakukan negosiasi dengan DPR RI. Namun sayangnya, dari sejumlah pertemuan tersebut, hasilnya deadlock. ”Jadi tidak ada pilihan lain, kami akan lakukan parlemen jalanan,” katanya.
Direncanakan dalam aksi tersebut akan melibatkan asosiasi petani kelapa sawit di seluruh Indonesia, seperti dari Papua, Sulawesi, Kalimantan. Parlemen jalanan ini, akan dilangsungkan di Jakarta dalam waktu dekat ini. Karena selama ini, pemerintah tidak berpihak pada petani sawit.
Bahkan dengan kebijakan pemerintah menaikkan pajak bea keluar (BK) dari 17,5 persen menjadi 20 persen untuk CPO dinilai merugikan rakyat. Apalagi seperti kondisi saat ini, harga kelapa sawit justru sedang turun. Hal tersebut otomatis berdampak pada penghasilan petani sawit.
“Hal seperti ini sangat irrasional. Pakai dasar apapun kita ini, sangat irrasional. Harga sawitnya turun, pajak justru meningkat. Kami petani sangat kecewa dengan kebijakan ini,”katanya seraya menam-bahkan harga kepala sawit tandan buah segar (TBS) per kilogramnya Rp 7.800 an.
Dijelaskannya, saat ini dengan kenaikan BK tersebut otomatis akan berdampak pada penghasilan petani sawit sebesar Rp 400 per kilogramnya tandan buah segar (TBS). Sementara petani tidak mendapatkan apa-apa dari hasil sawit yang menikmati malah pemerintah.
Padahal pada tahun 2010, pemerintah melalui APBN memberikan subsidi sebesar Rp 160 triliun. Namun sayangnya, hal tersebut tidak sedikit pun kontribusi dirasakan petani sawit.
“Cobalah turun ke lapangan, lihat tempat tinggal kami. Kami kehujanan, jalan buat ke kebun saja pun susah. Kalau kami sakit, mau ke kota, sa,pai Asahan asja sudah meninggal,” katanya.
Hasil yang kami kontribusikan ke pusat sama sekali, tidak ada buat kami. “jadi tidak ada cara lain, kami sudah lelah. Kami akan menggelar parlemen jalanan untuk membuka mata pemerintah, ”katanya.