SELAMAT DATANG DI BLOG KAMI

Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Dewan Pimpinan Wilayah Sumatera Utara.

BAGI DPD APKASINDO SE SUMATERA UTARA

Data Contact Person DPD APKASINDO Se Sumatera Utara Sudah Dapat di Lihat Pada Tab Database >> Data DPD APKASINDO.

www.apkasindo.blogspot.com

Segera Hadir Blog DPP APKASINDO.

BAGI DPD APKASINDO SE SUMATERA UTARA

Data Contact Person DPD APKASINDO Se Sumatera Utara Sudah Dapat di Lihat Pada Tab Database >> Data DPD APKASINDO.

BAGI DPD APKASINDO SE SUMATERA UTARA

Data Contact Person DPD APKASINDO Se Sumatera Utara Sudah Dapat di Lihat Pada Tab Database >> Data DPD APKASINDO.

Kamis, 14 Juli 2011

Dishutbun Hentikan Operasional PKS Mini Tanpa Izin

 Langkat (ANTARA) - Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Langkat, Sumatera Utara menghentikan operasional pabrik kelapa sawit mini tanpa izin, yang berada di dusun Bukit Rejo Kelurahan Tanjung Selamat, Kecamatan Padang Tualang.
"Kita menghentikan operasional pabrik kelapa sawit mini kapasitas lima ton per jam itu," kata Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Langkat, Supandi Tarigan di Stabat, Kamis.
Penghentian operasional pabrik kelapa sawit PT CCMO, selain tidak mempunyai izin juga adanya laporan dari masyarakat di sekitar pabrik, yang keberatan dengan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), katanya.
Selain itu izin lain juga belum dimiliki oleh perusahaan pengolahan sawit tersebut, seperti Izin Usaha Perkebunan Pengolahan (IUP-P).
Berdasarkan undang-undang nomor 18/2004 tentang perkebunan dan Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007, tentang pedoman perizinan usaha perkebunan dan peraturan lain yang berlaku, katanya.
Karena itulah pabrik kelapa sawit mini ini yang sudah didirikan sejak 2009 itu harus menghentikan operasional-nya dan segera melengkapi segala surat izin yang dibutukan untuk pengoperasian sebuah pabrik kelapa sawit.
Supandi menjelaskan, tegoran untuk menghentikan operasional PKS mini tersebut juga sudah dilayangkan nomor: 525-1122/HUTBUN-III/2011, tertanggal 10 Mei 2011, kepada pimpinan PT CCMO.
Dalam kaitan penghentian tersebut, pihaknya meminta agar Kepala Wilayah Kecamatan Padang Tualang, dan Kepala desa dapat melaporkan bila terjadi aktivitas di lapangan.
Sementara itu Kepala Badan Lingkungan Hidup Herminta Sembiring yang dihubungi secara terpisah menjelaskan, karena belum lengkapnya izin pabrik kelapa sawit tersebut, maka pembahasan UKL/UPLnya belum dilaksanakan.
"Pembahasan tersebut masih menunggu rekomendasi izin yang ada dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Langkat," katanya.
Kepala Wilayah kecamatan Padang Tualang, Yafizam Parinduri yang dihubungi menjelaskan, hingga sekarang ini sejak penghentian operasional pabrik tersebut, belum lagi ada kegiatan di lapangan.
Mereka benar-benar menghentikan operasional pabrik tersebut, katanya.

Jumat, 01 Juli 2011

Petani Akan Terus Berjuang Hentikan BK CPO

Jakarta (ANTARA) - Petani kelapa sawit yang tergabung Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Sumatra Utara berjanj untuk terus berjuang agar pemerintah tidak memberlakukan bea keluar minyak sawit mentah (BK CPO).
"Kami akan terus memperjuangkan aspirasi hingga pemerintah menghapuskan BK CPO progresif," kata Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPW Apkasindo) Sumatera Utara H.A. Rinto Guntari saat dihubungi, Minggu.
Saat ini kalangan petani kelapa sawit di berbagai daerah merasa gelisah dan kesal atas sikap pemerintah yang tetap memberlakukan kebijakan bea keluar (BK) minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang bersifat progresif.
"Para anggota kami sudah sangat kesal karena pemerintah tampaknya sama sekali tidak mendengarkan dan memperdulikan keberatan jutaaan petani kelapa sawit terhadap BK CPO yang progresif," ujar dia.
Rinto menyatakan hal tersebut menanggapi keputusan pemerintah yang kembali menaikkan tarif BK CPO untuk periode bulan Juli menjadi 20 persen.
Sebagaimana telah diberitakan beberapa hari lalu, pemerintah menaikkan kembali BK CPO menyusul naiknya rata-rata harga patokan ekspor CPO.
Tarif BK tersebut naik dibandingkan tarif periode bulan Juni yang dipatok sebesar 17,5 persen. Kenaikan itu sebagai buntut dari naiknya harga rata-rata patokan ekspor CPO dari rata-rata 1.100 dolar AS per metrik ton pada bulan Mei 2011, menjadi 1.200 dolar AS per metrik ton pada bulan Juni 2011.
Menurut Rinto, para petani kelapa sawit sudah cukup lama tertekan oleh kebijakan yang sama sekali tidak berpihak kepada rakyat kecil itu.
Pasalnya, sejak BK CPO diterapkan secara progresif pada 2007 lalu hingga saat ini, petani sama sekali tidak merasakan manfaatnya.
"Justru sebaliknya, kami terus menerus dirugikan. Karena dengan naiknya BK CPO, harga tandan buah segar (TBS) sawit semakin tertekan. Ketika tarif BK CPO masih 17,5 persen harga TBS di tingkat petani turun hingga Rp500 per kg TBS.
Sedangkan dengan BK CPO naik menjadi 20 persen maka harga TBS di tingkat petani semakin turun hingga Rp800 per kg TBS," jelas Rinto.
Kerugian yang telah diderita para petani sejak lebih dari tiga tahun lalu dan terus berlangsung hingga sekarang itulah,, memicu kegelisahan dan kekesalan para petani sawit di berbagai daerah, kata Rinto..
"Kami merasa dibohongi dan dipermainkan oleh pemerintah pusat. Katanya, dana yang terkumpul dari BK CPO ini nantinya akan dikembalikan lagi kepada para petani dalam bentuk pembagian bibit murah, pupuk murah bersubsidi, perbaikan sarana infrastruktur, dan sebagainya. Nyatanya, itu semua hanya janji-janji palsu dan omong kosong belaka," kata Sekretaris Umum DPW Apkasindo Sumatera Utara Gus Dalhari Harahap.
Kegelisahan serta kekesalan anggota Apkasindo terhadap kebijakan BK CPO yang progresif itu, menurut Gus Dalhari akan menjadi salah satu agenda dalam seminar nasional kelapa sawit maupun rapat kerja DPW Apkasindo Sumatera Utara yang berlangsung akan pada hari Senin - Selasa ini (27- 28 Juni).
Pernyataan Gus Dalhari itu dibenarkan oleh Ketua DPW Apkasindo Kalimantan Timur Bambang Sarjito, yang menegaskan, pemerintah pusat seharusnya lebih berpihak kepada para petani kelapa sawit.
Sebab perkebunan kelapa sawit rakyat adalah yang paling luas, yaitu 48 persen dari total luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
"Jadi seluruh petani kelapa sawit yang berjumlah 2,5 juta orang dengan total luas lahannya lebih dari 3,8 juta hektar itulah yang harus menanggung kerugian dari kebijakan BK yang progresif. Karena itulah, kebijakan itu tidak berpihak kepada kepentingan petani," kata Bambang Sarjito menjelaskan..
Karena itulah, pihaknya sepakat dengan DPW Apkasindo Sumatera Utara maupun daerah-daerah lain yang akan memperjuangkan kepentingan petani tersebut secara langsung kepada pemerintah pusat.
Menurut Bambang, pihaknya juga mendukung DPP Apkasindo yang memperjuangkan agar dana BK CPO yang telah disedot pemerintah pusat selama ini bisa segera dikembalikan kepada para petani dalam bentuk program replanting, penyediaan bibit murah, pendidikan petani, dan sertifikasi lahan sawit.

Petani Sawit Tercekik BK CPO

Demo Tuntut Penghapusan
JAKARTA-Kalangan petani kelapa sawit di berbagai daerah merasa gelisah dan kesal atas sikap pemerintah yang tetap memberlakukan kebijakan bea keluar (BK) minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang bersifat progresif. Karenanya, mereka mendesak agar pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan segera menghapuskan BK CPO progresif tersebut.
"Para anggota kami sudah sangat kesal karena pemerintah tampaknya sama sekali ndak mendengarkan dan memperdulikan keberatan jutaaan petani kelapa sawitterhadap BK CPO yang progresif," ujar Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPW Apkasindo) Sumatera Utara KA. Rinto Guntari di sela-sela rangkaian aksi unjukrasa di kompleks parlemen, kantor Kementerian Keuangaa Kementerian Perdagangan dan berakhir di Kementerian Koordinator Perekonomian, lakarta Kamis (30/6), kemarin.
Aksi para petani kelapa sawit yang tergabung dalam Apkasindo tersebut sebagai reaksi atas keputusan pemerintah yang tak kunjung menghapuskan BK CPO. Bahkan, pemerintah kembali menaikkan tarif BK CPO untuk periode Juli menjadi 20 persea
Seperti yang telah diberitakan, pemerintah menaikkan kembali
BK CPO menyusul naiknya rata-rata harga patokan ekspor CPO. Tarif BK tersebut naik dibandingkan tarif periode (uni yang dipatok sebesar 175 persea Kenaikan itu sebagai buntut dari naiknya harga rata-rata patokan ekspor CPO dari rata-rata USD 1.100 per metrik ton pada bulan Mei 2011, menjadi USD 1200 permetriktonpadajuni2011. Menurut Rinto, para petani kelapa sawit sudah cukup lama tertekan oleh kebijakan yang sama sekali tidak berpihak kepada rakyat kecil itu. Pasalnya, sejak BK CPO diterapkan secara progresif pada 2007 lalu hingga saat ini, petani sama sekali tidak merasakan manfaatnya "Justru sebaliknya, kami terus menerus dirugikan. Karena dengan naiknya BK CPO, harga tan-dan buah segar (TBS) sawit semakin tertekan. Ketika tarif BK CPO masih 17,5 persen harga TBS di tingkat petani turun hingga Rp 500 per kg TBS. Sedangkan dengan BK CPO naik menjadi 20 persen, maka harga TBS di tingkat petani semakin turun hingga Rp 800 per kg TBS," jelas Rinto.
Kerugian yang telah diderita para petani sejak lebih d;in tiga tahun lalu dan terus berlangsung hingga sekarang itulah memicu kegelisahan dan kekesalan para petani sawit di berbagai daerah. Kami merasa dibohongi dan dipermainkan oleh pemerintah pusat. Katanya, dana yang terkumpul dari BK CPO ini nantinya akan dikembalikan lagi kepada para petani dalam bentuk pembagian bibit murah, pupukmurah bersubsidi, perbaikan sarana infrastruktur, dan sebagainya Nyatanya, itu semua hanya janji-janji palsu dan omong kosong belaka," tegas Ketua DPW Apkasindo Kalimantan Timur Bambang Sarjito.
Dalam aksi yang diikuti oleh ra tusan perwakilan petani kelapa sawit dari Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi itu, Sekjen Apkasindo Asmar Arsjad menegaskan, kegelisahan dan kekesalan para petani di berbagai daerah itu mencerminkan bahwa kepercayaan para petani sawit terhadap pemerintah pusat sudah semakin lui iii ir "Para petani merasakaa saat ini seolah-olah tidak ada pemerintah pusat karena mereka tidak merasakan keberpihakan pemerintah pusat dan memperoleh realisasi janji-janji selama ini." katanya (aro)

Apkasindo Ancam Gelar Parlemen Jalanan - Sumut Terus Perjuangkan Dana Bagi Hasil Perkebunan

Sumatera Utara terus memperjuangan Dana Bagi Hasil (DBH) Perkebunan, khususnya kelapa sawit. Apalagi lebih dari 20 tahun belum ada realisasinya dari pemerintah pusat.

Hal tersebut terungkap da­lam seminar “Perimbangan Ke­uangan Dana Bagi Hasil” yang diselenggarakan Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Sumut,  Sabtu (25/6). Hadir sebagai narasumber, Ke­tua GAPKI Sumut, Ir Balaman Tarigan MM, Jhon Tafbu Ri­tonga, Dekan Fakultas Eko­no­mi USU, Harry Azhar Azis MA, Anggota DPR RI serta Wakil Ke­tua DPRD Sumut, Chaidir Ri­tonga.

Dorongan tersebut karena Su­mut adalah salah satu da­erah­ yang memiliki kontribusi  ter­besar penghasil CPO di In­donesia. Hal ini yang menjadi dasar agar Sumut bisa mempe­roleh DBH Perkebunan. Karena selama ini, banyak devisa yang disumbangkan oleh Sumut atas peran selama ini yang mengekspor CPO secara rutin dalam jumlah yang banyak.    

Kemudian berdasarkan ha­sil ekspor tersebut, peme­rin­tah pusat menarik Bea Ke­luar (BK) ekspor CPO yang jum­lahnya di­perkirakan sudah men­capai Rp 60 Triliun sejak BK yang dulunya bernama Pu­ngu­tan Ekspor (PE) tersebut di­b­er­la­ku­kan.

Menurut Harry, upaya un­tuk mendapatkan DBH tersebut perlu perjuangan semua pi­hak, termasuk DPR asal Su­mut. ”Angggota DPR asal Su­mut juga harus berjuang. Saya ti­dak wakil Sumut. Dari 30 ang­gota DPR RI, 25 saja be­ri­kan dukungan, berarti sudah bi­sa gunakan hak inisiatif,” kata Harry dari daerah pemilihan Kepulauan Riau (Kepri) ini.

Berbeda dengan Jhon Taf­bu. Menurutnya, upaya untuk me­re­­a­lisasikan DBH tersebut se­benarnya tergantung dengan po­­­litical willnya pemerintah pusat. Tidak harus membuat re­­gulasi yang baru. Namun cu­kup dengan menambahkan pa­sal dalam PP No 55 tahun 2005 tersebut, untuk mengakodir­nya.

Sementara Plt Gubernur Su­mut, Gatot Pujo Nugroho yang pada saat menjadi key­no­te speaker pada kesempatan te­r­sebut mendukung sepenuhnya perjuangan dana bagi hasil (BHD) perkebunan.

“Perjuangan ini memang te­rus kami sampaikan pada fo­rum-forum resmi maupun se­ca­ra informal kepada pejabat terkait di pusat. Karena itu, sa­tu kata yang harus saya sam­pai­­kan saat ini adalah main­kan,” katanya.
Dari pertemuan tersebut Ga­­tot juga berharap, seminar yang diselenggarakan tidak ha­­nya sampai sebatas seminar-seminar saja, namun me­mi­liki tindak lanjut. Dengan mem­bentuk tim untuk terus mem­pertahankan komitmen dan menguatkan perjuangan ber­sama ini. “Sebab, jika DBH tersebut masuk ke Sumut, ma­ka akan semakin baik dalam pen­ciptaan infrastruktur yang me­madai,”katanya.
  
Parlemen Jalanan
Akibat kebijakan pemerintah dinilai belum berpihak, Aso­siasi Petani Kelapa Sawit In­donesia (APKASINDO)  me­ngan­cam akan segera turun ke ja­lan. Mereka akan menggelar ak­si parlemen jalanan, guna mem­protes sikap pemerintah pu­sat yang tidak pernah merealisasikan dana bagi hasil (DBH) daerah.

Karena meski telah dikutip pa­jak bea keluar (BK), petani sa­­­wit ini mengaku belum me­ra­sa­kan perhatian pemerintah. “Ka­mi minta BK dihapus saja, jika tidak mau membagi hasil ke daerah,”kata Sekretaris Umum Dewan Pimpinan Wi­la­yah APKASINDO Sumut, Ir Gus Dalhari Harahap, kemarin (25/6).

Terlebih, sebelumnya pi­hak­nya telah berulangkali me­la­kukan negosiasi dengan DPR RI. Namun sayangnya, dari se­jum­lah pertemuan tersebut, hasilnya deadlock. ”Jadi tidak ada pilihan lain, kami akan la­ku­kan parlemen jalanan,” ka­tanya.

Direncanakan dalam aksi ter­sebut akan melibatkan aso­siasi petani kelapa sawit di se­lu­ruh Indonesia, seperti dari Pa­pua, Sulawesi, Kalimantan. Par­lemen jalanan ini, akan di­langsungkan di Jakarta dalam wak­tu dekat ini. Karena selama ini, pemerintah tidak  berpihak pa­da petani sawit.

Bahkan dengan kebijakan pe­merintah menaikkan pajak bea keluar (BK) dari 17,5 per­sen menjadi 20 persen untuk  CPO dinilai merugikan rakyat. Apalagi seperti kondisi saat ini, har­ga kelapa sawit justru se­dang turun. Hal tersebut oto­matis berdampak pada peng­ha­silan petani sawit.

“Hal seperti ini sangat irrasional. Pakai dasar apapun kita ini, sangat irrasional. Harga sa­witnya turun, pajak justru me­ningkat. Kami petani sangat ke­cewa dengan kebijakan ini,”ka­ta­nya seraya menam-bah­kan harga kepala sawit tan­dan buah segar (TBS) per ki­logramnya Rp 7.800 an.

Dijelaskannya, saat ini de­ngan kenaikan BK tersebut oto­matis akan berdampak pa­da peng­hasilan petani sawit se­besar Rp 400 per kilogramnya tandan buah segar (TBS). Se­mentara pe­tani tidak men­da­patkan apa-apa dari hasil sa­wit yang me­nik­mati malah pemerintah.

Padahal pada tahun 2010, pe­merintah melalui  APBN mem­berikan subsidi sebesar Rp 160 triliun. Namun sayang­nya, hal tersebut tidak sedikit pun kontribusi dirasakan pe­ta­ni sawit.

“Cobalah turun ke lapangan, lihat tempat tinggal kami. K­a­mi kehujanan, jalan buat ke ke­bun saja pun susah. Kalau ka­mi sakit, mau ke kota, sa,pai Asa­han asja sudah meninggal,” ka­tanya.

Hasil yang kami kontri­bu­si­kan ke pusat sama sekali, ti­dak ada buat kami. “jadi tidak ada cara lain, kami sudah lelah. Ka­mi akan menggelar parle­men jalanan untuk membuka mat­a pemerintah, ”katanya.

BK CPO picu penurunan harga TBS petani

MEDAN - Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Sumatera Utara kembali meminta pemerintah mencabut kebijakan bea keluar minyak sawit mentah yang akan dinaikan besarannya menjadi 20 persen untuk pengriman Juli 2011, karena selalu menyebabkan harga tandan buah segar petani tetap murah.

"Ini saja dengan rencana kenaikan BK (bea keluar) menjadi 20 persen mulai Juli, harga TBS (tandan buah segar) sawit petani sudah turun hingga Rp200 per kg," kata Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPW) Apkasindo Sumut H Ahmad Gunari, di Medan, Minggu.

Apkasindo Sumut meminta pemerintah mencabut BK CPO (crude palm oil) atau minyak sawit mentah, ujarnya.

Apkasindo Sumut bersamaan pelantikan pengurus melaksanakan seminar nasional petani kelapa sawit dalam pembangunan industri Indonesia dan Raker DPW/DPD Apkasindo se-Sumatera Utara yang dijadwalkan dibuka Plt Gubernur Sumut, Gatot Pujo Nugroho.

Dalam seminar dan rapat kerja Apkasindo itu antara lain akan membahas soal nasib petani sawit yang tidak pernah menikmati seutuhnya kenaikan harga ekspor karena selalu dibebani dengan berbagai pungutan baik langsung atau tidak langsung seperti BK CPO.

Akibat mau dinaikkannya BK CPO, harga TBS di Labuhan Batu akhir pekan ini tinggal Rp1.530 - Rp 1.681 per kg dari sebelumnya Rp1.700 - Rp1.800 per kg.Harga diperkirakan akan turun lagi kalau nyatanya ekspor tertekan, padahal seharusnya saat musim trek atau kering seperti dewasa ini yang membuat produksi menurun, harga TBS mahal.

BK CPO yang dibebankan kepada pengusaha, kata dia, berimbas langsung ke petani karena pengusaha juga menurunkan harga belinya.
Sementara, dana BK yang dikutip pemerintah itu, nyatanya tidak juga bisa dinikmati petani atau pemerintah daerah penghasil sawit tersebut yang ditandai infrastruktur seperti jalan yang sangat jelek dari dan ke daerah sentra produksi sawit.

Sekretaris Umum Apkasindo Sumut, Gus Dalhari Harahap, menambahkan, harga sawit petani semakin murah karena biaya produksi seperti ongkos angkut menjadi lebih mahal.Bendahara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumut, Laksamana Adiyaksa, mengatakan, Gapki menilai kenaikan BK CPO menjadi 20 persen untuk pengiriman Juli mendatang tidak fair.

Keberatan itu juga, kata dia, sudah dilontarkan Gapki Pusat.Pemerintah, kata dia, selalu berpatokan hanya pada kenaikan harga sawit di pasar internasional dan langsung menaikkan BK dengan struktur yang progresif pula.

Akibat BK yang terus dinaikkan, kata dia, kenaikan harga sawit tidak pernah benar-benar dinikmati pengusaha dan petani.Kenaikan BK CPO menjadi 20 persen dengan harga referensi CPO per Juli sebesar 1.168,38 per metrik ton juga mengancam peningkatan ekspor karena pembeli juga berupaya menahan pembelian atau transaksi menunggu harga turun.

Sebelumnya, Kementerian Perdagangan di Jakarta, menetapkan BK CPO untuk Juli mendatang sebesar 20 persen, naik dibanding Juni yang masih 17,5 persen. BK CPO memang pernah mencapai 25 persen pada Maret lalu.

Petani Minta Bea Keluar CPO Dihapus

JAKARTA – Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menuntut agar bea keluar untuk minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dihapuskan. Pungutan bea keluar 20% membuat harga sawit turun menjadi Rp800/kg.

Ketua Dewan Perwakilan Wilayah Apkasindo Sumatera Utara (Sumut) Rinto Gunari mengatakan, dengan menaikkan bea keluar CPO 20%, pemerintah tidak prorakyat. Pengenaan bea keluar menurunkan harga sawit, sementara bantuan yang dijanjikan pemerintah seperti bibit sawit murah, pupuk murah, kemudahan pengurusan lahan sawit, dan biaya penanaman kembali (replanting) tidak berjalan.

“Pemerintah hanya bisa berjanji, padahal petani kelapa sawit butuh biaya replanting Rp4 triliun. Adanya 20% bea keluar membuat petani sawit tidak bisa melakukan peremajaan tanaman. Kita menuntut bea keluar 20% dihapuskan,” kata Rinto di Jakarta kemarin.

Rencananya, pemerintah akan menetapkan bea keluar CPO sebesar 20% untuk pengapalan mulai Juli 2011, naik dibandingkan bea keluar Juni 2011 sebesar 17,5%. Bea tersebut ditetapkan berdasarkan harga rata-rata CPO pada bursa Rotterdam. Harga referensi yang menjadi rujukan bea keluar untuk bulan depan sebesar USD1.168,38/ton, lebih tinggi dari harga referensi Juni lalu yang hanya USD1.146/ton.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 67/2010 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenai Bea Keluar, jika harga referensi USD1.151–USD1.200/ton, bea keluarnya ditetapkan 20%. Direktur Jenderal (Dirjen) Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Deddy Saleh mengatakan, instrumen kebijakan bea keluar sampai saat ini dirasakan masih efektif.

Namun, pemerintah tetap melakukan evaluasi kebijakan dari segi penerapan harga batas bawah dan struktur tarifnya sehingga dapat mendukung hilirisasi komoditas kelapa sawit. Namun kalangan pengusaha menilai kebijakan tersebut membebani pengusaha dan petani.

Sebelumnya,Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan menyarankan pemerintah menetapkan bea keluar CPO flat sebesar 3% pada tingkat harga CPO dunia USD700/ton atau lebih.

Pemerintah juga diminta membebaskan bea keluar produk turunannya supaya kebijakan itu bisa menjadi instrumen stabilisasi harga minyak sawit sekaligus pendorong perkembangan industri hilirnya. bernadette lilia nova

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More